Selasa, 20 November 2012

Konsep BioSosioCultural dalam Kesehatan


Masalah kesehatan akhir-akhir ini beragam dan banyak pula akar penyebabnya. Dari jenis penyakit yang bermula dari gangguan pada sistem dan organ serta oleh beberapa jenis faktor lain; seperti lingkungan dan kepercayaan turun temurun. Ditinjau dari persoalan yang saat ini banyak diperbincangkan, penyakit biomedis muncul tetapi tetap mengacu pada aspek dalam kerangka untuk dimensi sosial, psikologis, dan perilaku penyakit itu. Ini menjadi tujuan utama untuk penelitian, bahan pengajaran, dan pola tindakan dalam keperawatan untuk meningkatkan mutu kesehatan saat ini. Model biomedical dalam kesehatan masih dominan tetapi masih belum cukup untuk memberikan dasar untuk memahami factor-faktor penentu penyakit, medical harus memperhitungkan dimana pasien, kontek sosialnya dimana ia tinggal, system masyarakat yang dibuat oleh masyarakat yang berhubungan pada efek penyakit, juga bagi ilmuwan dalam system kesehatan, dari hal-hal tersebut membutuhkan model dari konsep Biopsikososial.
Para ahli medis cenderung masih mengandalkan obat-obatan sebagai “pembunuh” penyakit dan saat ini sudah tidak asing jika banyak masyarakat memiliki persersi bahwa suatu penyakit tertentu akan sembuh jika diberi suatu obat tertentu. Ini menjadi kontras jika kita melihat pada para pelaku yang mempunyai dasar pengobatan melalui terapis. Keduanya memiliki diagnosa dan hipotesis sendiri-sendiri dengan intervensinya yang pasti berbeda diantara keduanya. Namun, masalah dasar penyebab serta faktor utama penyakit cenderung tak menjadi sorotan awal serta hanya menjadi ‘penghias’ dalam mereka melakukan tugas kerjanya dalam mengobati pasien.
Pemahaman ini seharusnya kita perbaiki dan mulailah dari kegiatan paling mendasar; seperti kegiatan prevent mencangkup aspek-aspek utama manusia, investasi pada kerja sistem-sistem tubuh, serta menjaga kesehatan psikologis masing-masing individu sendiri. Erat kaitannya jiwa, perasaan serta raga dan lingkungan menuntut manusia untuk tetap menjaga diri dari gangguan serta serangan penyakit yang bisa muncul berkenaan dengan BioSosioCultural.

The American Heart Association (AHA)


The American Heart Association (AHA) mengeluarkan panduan untuk melakukan RJP (Resusitasi Jantung Paru) terbaru. Rekomendasi terbaru menunjukkan bahwa penolong harus lebih berfokus pada kompresi dada ketimbang pernapasan buatan melalui mulut.
Panduan terdahulu (2005) menekankan pada penanganan “ABC” (Airway, Breathing, Chest Compression) yaitu dengan melakukan pemeriksaan jalan napas, melakukan pernapasan buatan melalui mulut, kemudian memulai kompresi dada. Panduan terbaru (2010) yang dikeluarkan oleh AHA lebih menekankan pada penanganan “CAB” (Chest Compression, Airway, Breathing) yaitu dengan terlebih dahulu melakukan kompresi dada, memeriksa jalan napas kemudian melakukan pernapasan buatan. Panduan ini juga mencatat bahwa pernapasan buatan melalui mulut boleh tidak dilakukan pada kekhawatiran terhadap orang asing dan kurangnya pelatihan formal. Sebenarnya, seluruh metode ini memiliki tujuan yang sama, yaitu membuat aliran darah dan oksigen tetap bersirkulasi secepat mungkin.
Pada tahun 2008, AHA menyatakan bahwa penolong tak terlatih atau mereka yang tidak mau melakukan pernapasan buatan melalui mulut dapat melakukan kompresi dada hingga bantuan medis datang. Panduan terbaru (2010) dari AHA menyarankan kompresi dada terlebih dahulu baik bagi penolong terlatih maupun penolong tidak terlatih.
The American Heart Association (AHA) menyarankan, ketika seorang dewasa ditemukan tidak responsif dan tidak bernapas atau mengalami kesulitan bernapas, setiap orang yang ada di sekitarnya wajib untuk menghubungi tenaga kesehatan kemudian segera melakukan kompresi dada.
Setelah mengaktifkan bantuan tenaga kesehatan dan melakukan kompresi dada, maka tindakan berikutnya yang harus dilakukan adalah dengan segera bisa mendapatkan akses terhadap AED (automatic external defibrillator), sebuah alat bantu kejut jantung yang dapat membantu ritme jantung kembali normal.




Ketiga mata rantai awal ini dapat membantu meningkatkan keberhasilan pertolongan dan angka kehidupan pada korban. Perubahan panduan ini mengacu pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan berarti pada hasil dari tindakan RJP kompresi dada dan pernapasan buatan dengan RJP kompresi dada saja.
Panduan “Resusitasi Jantung Paru” terbaru ini menjadi lebih mudah dilakukan juga bagi orang awam karena menekankan pada kompresi dada untuk mempertahankan aliran darah dan oksigen dalam  darah tetap mengalir ke jantung dan otak. Kompresi dada memang cenderung lebih mudah untuk dilakukan, dan setiap orang dapat melakukannya.
Kompresi dada dapat dilakukan dengan meletakkan satu tangan di atas tangan yang lain dan menekan dengan kuat pada dada korban. Panduan RJP yang baru ini menekankan bahwa penolong harus berfokus memberikan kompresi sekuat dan secepat mungkin, 100 kali kompresi dada per menit, dengan kedalaman kompresi sekitar 5-5,5 cm. Dan, sangat penting untuk tidak bersandar pada dada ketika melakukan kompresi dada pada korban. Penolong tidak perlu takut dan ragu untuk melakukan kompresi dada yang dalam karena risiko ketidakberhasilan justru terjadi ketika kompresi dada yang dilakukan kurang dalam. Yang terpenting sekali lagi adalah bahwa kita harus membuat aliran darah dan oksigen tetap bersirkulasi secepat mungkin.